Kegagalan adalah  sukses tertunda.

 

Pemilu pada tahun 2024 sudah berlalu. Ada yang bilang pemilu  itu seperti sebuah pesta karena memakan biaya besar bagi caleg  mengikuti pesta tersebut.

Jika  Anda  pernah melakukan hosting sebuah acara pesta anda memahami betul sesudah pesta selesai. Berbagai tagihan harus dibayar, finansial perhitungan tidak bisa dihindarkan lagi. Disitu kita merenungkan betapa besar pengeluaran yang telah dibelanjakan untuk suatu “ kepuasan” diri. Kepuasan itu susah dinilai tetapi konsekuensi kerugian materi sudah pasti ada . Bahkan kalau  kita jujur pada diri sendiri apakah kita ada melakukan ‘kebodohan’ ketika‘mengadakan’ pesta tersebut .

Baik bagi Caleg terpilih maupun Caleg yang tidak terpilih mereka menghadapi dilema yang sama, biaya.

 

Sebentar lagi KPU akan mengumumkan secara resmi caleg Dapil III DKI terpilih, satu hal sudah pasti; anak petani asal Singkawang yang populer di kalangan komunitas orang Singkawang di Jembatan Lima dan Jembatan besi Pak Fuidy  Luckman tidak terpilih  tahun 2024 ini. Menurut siaran media sosial  Pak Fuidy mengakui “ hasil pemilihan” tidak seperti apa yang Beliau harapkan.

Kita  sebagai bagian dari komunitas Singbebas kita merasa simpati dan salut sama  Pak Fuidy.

Beliau telah banyak mengorbankan tenaga, pikiran, waktu, dan materi. Selama dua tahun ini kita mengikuti perjalanan Pak Fuidy sebagai caleg Dapil III DKI melalui media FB dan TikTok.  Memasuki lorong sempit,gelap  dan bau busuk, mengunjungi mereka yang kurang beruntung untuk menyampaikan gagasan  Beliau sebagai caleg . Masuk  lorong ke lorong itu bukan hal mudah dapat dilakukan oleh sembarang orang, melihat kemiskinan warga sangat menyentuh perasaan kemanusiaan.

 

Perjalanan anak manusia untuk mencari sesuatu’ mengingatkan  kita sebuah cerita terkenal “Journey to the West”- Xiyou ji ( Monkey Magic ).

 Para intelektual berpendapat sebuah cerita kritik sosial terhadap kehidupan jaman feudal berapa ratus tahun yang lalu. Tokoh dalam cerita itu Tang Sanzang or Tripitaka (sebutan Tong Chen).Menurut Tong Chen:”

“Tujuan perjalanan saya bukan untuk mendapatkan informasi pribadi

persembahan. Saya menyesal, di negara saya,

doktrin Buddhis tidak sempurna dan kitab suci pun demikian

tidak lengkap. Karena mempunyai banyak keraguan, saya ingin pergi dan mencari tahu

kebenarannya, jadi aku memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Barat (India)

mempertaruhkan hidupku untuk mencari ajaran

yang belum kudengar....”. Kalau kita memperhatikan kalimat dari alinea diatas ada bagian yang menarik perlu kita simak’ saya ingin pergi dan mencari tahu kebenarannya, jadi aku memutuskan untuk melakukan perjalanan’ dan ‘mempertaruhkan hidupku’. Perjalanan  Tong Chen ‘mencari tahu’untuk pencerahan rohani, sedang  Pak Fuidy  melakukan perjalanan masuk lorong ke lorong mencari kursi di Senayan. Yang satu mempertaruhkan ‘hidup’ dan lain mempertaruhkan ‘materi’

 

Kata pepatah “ kegagalan adalah sukses tertunda”. Harus diperjuangkan lagi jika ada kesempatan  . Sekedar contoh: dalam perjalanan karier Prof Pak Darmandi Durianto sebagai politisi terpilih berapa kali. Kali pertama Beliau mencari karier sebagai politisi pernah mengalami kegagalan, tidak terpilih. Tetapi Beliau berjuang terus akhirnya terpilih sebagai anggota Dewan pusat berapa kali.

Apakah Bapak Fuidy mau merendahkan hati belajar dari pengalam Bapak Darmadi ?  Para pendukung dan suporter Pak Fuidy menanti jawaban.

 


Big Chair, didepan kantor PBB di Geneva

sumber foto dari :google .com